Selasa, 23 Desember 2008

Episode 3

Namaku Keisya.
Ananti Keisya Fardani yang biasa di panggil Key. Mahasiswa tingkat dua Faculty of Public Health sebuah universitas -yang katanya- terbaik di seluruh Sabang sampai Merauke. Selama ini ku biarkan banyak orang berkisah tentangku. Kini izinkan aku yang berkisah. Tentang keluarga seorang karibku saat ini. Nila.
Mengapa sosoknya begitu menarik bagiku. Karena melihatnya seperti berkaca pada diriku sendiri. Tak cantik namun menarik. Kadang bicaranya tak kami mengerti, seringkali alur pikirnya buat kami kerutkan kening. Hal ini membuat seorang Reza berpikir berulang kali. Bertanya pada diriku, apa yang sebenarnya menarik darinya sehingga dia –Reza- tak bisa layarkan perahunya ke pulau kapuk semalam suntuk. Ya, dia hampir tergila-gila pada sobatku ini.
Reza. Dia ketua angkatanku. Kini jadi calon kuat ketua BEM. Aku sendiri adalah bendahara. Tak aneh bukan, bila kami punya hubungan cukup dekat. Nila sendiri adalah ketua divisi keakademikan perangkat angkatan kami. Diantara semua ketua divisi, hanya di depan Nila lah dia tak bergeming. Jadilah kabar ini diketahui seluruh angkatan kami.
Nila, lagi-lagi tak peduli dengan kabar ini. Buatnya semua ini tak penting. Baginya hanya dirinya yang penting, dirinya yang hebat. Tak hanya itu namun juga hanya dirinya yang salah, dirinya yang bodoh. Korelis-Melankolis. Sisi melakolisnya lah yang –tentu saja hanya menurut feeling liarku- membuat ketua angkatan kami itu tergila-gila.
Reza, adalah sosok menyenangkan, populer namun tegas dan berwibawa. Seperti kebanyakan pemimpin dunia. Dia tetap punya sisi lemah. Seperti semua lelaki di jagat raya ini, titik terlemahnya adalah wanita, karibku itu.
Fadnila Farida, anak pertama dari 4 bersaudara. Cukup sudah aku ceritakan wataknya seperti diatas. Hal lain yang menarik darinya adalah keluarganya.
Ayahnya, Hariyanto Abdilla. Beliau adalah dosen fakultas teknik di universitasku. Baru saja dipilih oleh BEM Fakultas Teknik sebagai dosen terfavorite. Apa pasal? Menurut anak-anak teknik, dosen Kalkulus yang satu ini tak hanya mengajar mata kuliah tapi juga mengajarkan tentang hidup. Mirip-mirip dosen filsafat. Namun, caranya tak membosankan. Dengan ayah macam itu, pantas saja pribadi Nila jadi sebegitu puitis, romantis dan melankolis.
Ibunya, Rossa Ardiana Rossandini. Nama yang sunda sekali. Beliau dalah salah satu kepala staff di Departemen Kesehatan. PNS papan atas. Tentu saja seorang dokter. Sangat menyenangkan serta humoris. Tak jarang beliau jadi pengisi acara yang kami buat. Tentu saja gratis. Hehehe.
Adik pertamanya, Hanina Asmarani.Biasa kami panggil Nina. Hanya pendapat orang luar. Dia sangat mirip dengan ibunya. Dari wajah, sampai perilaku. Bila ada kata-kata, like mother like daughter, ini sangat cocok untuk poasangan ibu-anak ini.Kini dia kelas 2 SMA. Masa lagi nakal-nakal. Tak jarang aku dengarkan keluhan Nila tentang adiknya ini. Sering pergi pagi buta dan pulang larut malam. Aku hanya berani berpendapat,
“Namanya juga anak SMA, kelas 2 lagi. Bukannya itulah masa paling indah ya Nil?”
Adik ke duanya, Ranisya Kania. Kami memanggilnya Nisa. Baru kelas 5 SD. Cenderung mendominasi. Namun, begitu lembut dan rapuh. Tempramen luar biasa. Pemikir. Hanya ingin melakukan hal-hal yang realistis dan masuk akal. Cenderung pesimis dan terobsesi dengan pikirannya sendiri. Sedikit banyak sama dengan Nila.
Adik ke tiganya, Fenida Aryadewi. Dipanggil Nida. Kelas 2 SD. Cenderung beda sendiri dari kakak-kakaknya. Berparas sangat cantik dibanding kakak-kakaknya. Anaknya ramah, super lembut, santun serta menyenangkan. Sangat suka melukis, berkebalikan dengan Nila yang sangat benci menggambar.
Sebuah keluarga yang cukup unik. Tak beda dengan keluargaku. Beginilah aku yang sekarang, sedikit narsis.
Bagaimana dengan keluargaku sendiri?
Setahun yang lalu aku ikut SPMB. Pilihan 1 : STEI ITB, Pilihan 2 : FKM UI, Pilihan 3 : Antropologi Sosial UnPad. Mimpiku sejak SMP memang masuk ke Teknik Informatika ITB. Tapi apa mau di kata, kenyataannya aku harus hijrah ke Depok karena nilaiku hanya mampu mengantarku ke pilihanku yang kedua. Aku pun tinggal bersama abang tertuaku, Bang Radit. Hanya saja pertengahan tahun ini dia pindah kantor sehingga harus pula pindah rumah ke daerah Jakarta Pusat. Sebuah kebetulan, abangku yang kedua, Bang Dimas yang tadinya nun jauh di Kalimantan sana, mendapat beasiswa di kampus yang sama denganku. Jurusan Manajemen. Sedangkan istrinya,Teh Reni, dapat beasiswa di fakultas yang sama denganku. Jadilah kini aku tinggal bersama mereka dan 2 putra-putri mereka Sheira dan Erief.
Sheira. Baru 3 tahun. Sedang lucu-lucunya. Mengoceh apapun yang bisa diocehkannya. Super duper cerewet. Sampai pusing bukan buatan aku dibuatnya.
Erief. Terpaut 20 bulan dengan Sheira. Sedang belajar melangkah dan aku banyak belajar darinya. Tentu saja perhatian Teh Reni lebih banyak tertuju padanya. Dan ini membuat Sheira cemburu. Jadilah Sheira lebih dekat denganku. Karena akulah yang bertugas menghibur Sheira ketika ia menangis.
***
Hari ini adalah hari yang indah.
Sheira dan Erief berada dimasa-masa akur mereka. Seperti kehidupan kakak-adik pada umumnya. Ada masa bertengkar, ada masa akur. Masa-masa yang tak pernah aku alami karena umurku yang terpaut begitu jauh dengan 2 kakak lelakiku.
“Apa kesibukan kamu selama ini, De?”
Ade. Begitulah aku dipanggil di keluargaku sendiri.
“Ya... palingan juga di BEM Fakultas.”
“Masih inget sama Fajar?”
“Fajar mana?”
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba saja Teh Reni bertanya seperti itu. Aku memang punya setidaknya 10 orang teman bernama Fajar. 5 orang sewaktu SD, 3 orang sewaktu SMP, dan 2 SMA.
“Fajar yang paling berkesan buat kamu yang mana?”
Sejujurnya salah satu Fajar waktu SMAlah yang paling berkesan buatku. Terlalu banyak kasus masa SMAku yang sehubung dengannya. Tentu bukan hal yang mudah jika mau melupakannya. Namun, bukan aku jika tak menjawabnya dengan diplomatis.
“Semua Fajar meninggalkan kesan yang berbeda-beda.”
“Begitu juga dengan Fajar, yang membuatmu sampai menelpon abangmu?”
Ya, memang Fajar itu yang paling berkesan buatku.
“Emang Bang Dimas cerita-cerita ke Teh Reni ya?” tanyaku, coba alihkan fokus.
Teh Reni hanya tersenyum. Seakan mengerti maksudku uraikan fokus pembicaraan.
“De, teteh minta tolong. Kamu ajak Sheira mandi jug.” katanya pada akhirnya.
***
SMA memang cerita yang lucu.
Masa terindah, masa ternakal, masa terpenuh mimpi, masa tertakrealistis, ..., kelihatannya terlalu banyak ter lain yang tak bisa aku ungkap saat ini.
Lucu?
Tentu saja aku bisa tertawa terbahak-bahak bila Bang Dimas kembali mengurai cerita Rena dan Lani yang sempat tergila-gila padanya.
Indah?
Tak sebanding hukuman-hukuman yang kami dapat saat kabur dari pelajaran PPKn dengan keasyikan bersembunyi saat itu.
Nakal?
Merasa kabur itu indah dan asyik tentunya karena jiwa kenakalan sedang ada pada titik tertinggi. Sering pulang malam dan pergi pagi buta. Ya, itulah masa SMA.
Penuh mimpi dan tak realistis?
Oh, tentu. Karena kami sedang ada pada jiwa muda tertinggi. Maka muncullah mimpi-mimpi yang tak realistis.
Itulah SMA, itulah masa muda.
***
Ngomong-ngomong soal Fajar, aku tiba-tiba saja teringat soal Rama.
Bisa jadi dia adalah cinta pertamaku. Tak tampan, hanya hitam manis serta jenius luar biasa. Sayangnya kami terpisah saat SMA. Kabar terakhir yang kudengar tentangnya adalah dia masuk jurusan yang sama dengan Fajar, Kedokteran.
Aku cerita pada Bang Dimas soal ini, mulai saat itulah Bang Dimas banyak berbicara padaku soal jilbab serta pacaran yang tak diperbolehkan agama. Maka dari itu, ketika Rama ‘nembak’ –ya... begitulah bahasa anak mudanya- aku, aku sudah siap dengan perisai yang tlah lama dipersiapkan Bang Dimas.
“Teu, nyalain tipi donk.” Sahut Sheira dengan lucunya.
Teuteu. Begitulah 3 keponakanku Sheira, Nadia dan Erief memanggilku.
Aku pun menuruti katanya. Kali ini rumah sepi. Bang Dimas dan Teh Reni sedang pergi ke dokter mengantar Erief yang badannya panas sejak 3 hari yang lalu. Tadi pagi Teh Reni menelpon ibuku, mertuanya. Begini kata ibuku,
“Biasa Ren, Begitulah anak kecil. Pabila akan bisa sesuatu pasti sakit terlebih dahulu. Jadi, kau jangan terlalu cemas, tapi jangan pula terlalu menganggap remeh. Boleh ibu bicara dengan Ade?”
Dan bicaralah ibuku pada diriku,
“Baik-baik kau bersama abangmu di sana. Jangan membuat kepala kakak-kakakmu bertambah pusing. Kalau ada apa-apa cerita pada ibu.”
“Iya, Bu.”
Hanya itu jawabku.
“Ya sudah. Ibu mau bicara dengan kakak iparmu lagi.”
Sepertinya ibuku tau. Aku tak akan menjalankan pesannya itu. Dia hanya pasrah.
Ups! Aku sampai lupa.
Kunyalakan langsung tv, sebagaimana keinginan Sheira, keponakan kesayanganku.
Apa?
Guys.... ada yang tau apa yang kulihat?
Sebuah berita, tentang unjuk rasa sebuah universitas kota kelahiranku. Yang akan menaikan biaya kuliahnya 50%. Apa-apaan ini? Semakin komersial saja dunia pendidikan kita? Tak adakah fakta sebuah buku best seller yang mengangkat cerita itu memanggil para pemimpin negeri ini? Sepertinya hanya sekelewat saja Laskar Pelangi dibaca, tanpa diresapi isinya secara benar oleh presiden kita itu. Hanya pendapat pikiran liarku. Aku tak mau bilang aku tau banyak dan begitu peduli soal hal ini.
Bukan itu yang sebenarnya aku ingin ungkap disini. Tau siapa yang kulihat?
Tampak 2 sosok yang tampaknya ku kenal. Yang satu teman SMPku satunya lagi teman SMAku, Rama dan Fajar. Mereka berdua memimpin aksi itu, memegang pengeras suara, memimpin aksi yang cukup besar itu.
“Teuteu pindahin kaltun Teu, kaltun” Sheira memelas.
Aku pun tak ingin lama-lama melihat ini. Aku takut, hal yang menggerogoti imanku 3 dan 6 tahun lalu kembali gerogoti imanku lagi kali ini.
***
Benar saja.
Benteng yang telah kubangun dua tahun belakangan ini rubuh begitu saja. Aku sangat penasaran dengan kabar 2 temanku ini.
Mereka hanya temanku. Wajar bukan, jika aku ingin tau kabar keduanya. Aku melempar telepon genggam yang sedari tadi ku tatap. Hendak menelpon Rena yang juga masuk jurusan yang sama dengan 2 orang yang tadi memimpin aksi itu.
“Mo nelpon siapa sih? Kok kamu bimbang githu.” Ini Abangku.
“Tadi sore... Ade ngeliat Rama dan Fajar di tv mimpin aksi.”
“Oh, mereka satu universitas ya? Dimana?”
“Satu jurusan malah. Kedokteran.” jawabku singkat.
“Teh Reni punya nomornya Teh Lili tuh.”
Teh Lili adalah kakak dari Fajar. Ide ini begitu bodohnya. Seperti menertawakanku. Tak kuhiraukan.
Telpon Rena, tanya kabarnya, dan tanyakan soal aksi itu. Kalau kau tak dapat kabar apa-apa tentang mereka berdua. Hal itu memang belum rejekimu.
“Ren, apa kabar?”
“Baik. Benarkah ini kau Key? Apa kabar juga?”
Kami pun bercerita tentang diri kami masing-masing. Sampailah saatnya,
“Tadi kalian aksi ya. Aku nontonloh di tv.” kataku.
“Pasti kau ingin tau soal 2 pria yang tadi mimpin aksi khan?”
Kalau Rena tau soal Fajar, itu wajar. Soal Rama bagaimana dia tau?
“Maksudnya?”
“Mereka berdua tuh sering banget ngebicarain kamu tau.”
“Terus?”
“Ya, paling yang ngerti anak SMA kita yang tau kalian aja. Dan itu nggak banyak khan. Pokoknya mereka berdua tuh sering bawa-bawa kamu deh kalau lagi diskusi n debat. Yang paling ngerti paling aku doank.”
Aku tersentak. Dalam. Kedua muncul bersamaan. Sejujurnya bentengku akan Rama tak rubuh begitu banyak. Karena pondasinya telah mengakar kuat. Ya, Fajar lah yang membuat hatiku ini gundah.
Ku telpon ibuku, menangis sekeinginku.
“Bu, maafin Ade selama ini ya.”
“Kenapa sih De? Kok tiba-tiba nangis ke ibu begini.”
“Maafin Ade, karena selama ini Ade kurang suka cerita sama ibu. Ade lebih suka cerita ama Bang Dimas. Maafin Ade ya bu.”
Ibuku menghela nafas. Lalu berkata,
“Sebenernya... kamu cerita sama ibu atau sama abangmu itu sama saja. Yang penting kau ceritakan masalahmu pada orang lain. Jangan kau pendam sendiri. Ibu ini sudah jadi bundamu 19 tahun lamanya. Ibu mengenalmu dengan sangat. Satu yang ibu ingin kau tau, kami selalu ada di sampingmu, menemani apapun masalah yang kau hadapi.”
Ibu. Sesosok yang telah kulupa 6 tahun ini. Aku lebih banyak cerita dengan abangku, Dimas. Entah mengapa nasihatnya yang ini, buat aku terasa sangat dekat dengannya. Dan tiba-tiba saja, kata-kata ini terucap dari bibirku.
“Ibu, Ade sayang ibu.”
“Ibu juga.”
Rasa rindu pada ibuku saat itu menjadi berkali-kali lipat rasanya.
***
Story-Guide :
Barulah untuk pertama kalinya. Keisya jujur pada perasaannya sendiri. Tentang ibunya dan tentang Fajar tentu saja.

Episode 2

Hari ini
***
Hari ini aku ingin berkisah. Tentang seorang anak yang biasa kupanggil Neng.
“Bade lungsur dimana Neng?”
Gadis yang kini ada dihadapku. Termenung sendiri dipojokkan hadapku. Dia tak pernah sadar kalau aku selalu perhatikannya.
Sudah 4 tahun ini aku tak melihatnya. Dari cakapnya, aku tahu 4 tahun ini dia menimba ilmu di Fakultas Kesehatan Masyarakat universitas yang letaknya di Depok sana. Kudengar dia lulus cum laude. Sungguh hebatnya gadis ini.
***
16 tahun yang lalu...
***
Dengan seragam merah putihnya seorang gadis cilik menaiki angkot. Sepertinya ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Entah ada apa dalam dirinya sehingga aku begitu tertarik akan sosoknya. Jiwa keingintahuanku membuncah, ingin berkenalan dengannya. Kebetulan dia mengambil tempat duduk tepat di belakangku.
“Neng, sekolah dimana?”
Dia hanya diam. Aku mengerti ketakutan yang dirasanya. Biasa, nasihat dari orang tua pada anak mungilnya.
“Kalo ada orang nggak dikenal yang ngajak ngomong kamu. Kamu cuekin aja.”
Mengapa aku tahu? Karena begitulah nasihat ibuku 13 tahun yang lalu. Ketika aku masih kelas 1 SD.
Aku tak ingin membuatnya tak nyaman maka kuredam rasa ingin tahuku. Aku kembali konsentrasi pada urusanku.
***
Hari ini gadis itu pulang dari sekolahnya bersama temannya. Dari percakapan mereka, aku dapat beberapa data tentang gadis itu. Panggilannya Key. Temannya adalah Liyah. Mereka hendak belajar bersama dengan Key. Karena di rumah Liyah, hari ini tak ada siapa-siapa maka Keisya mengajak Liyah bermain di rumahnya saja. Begini percakapan 2 gadis cilik itu.
“Emang ibu-bapak kamu kemana?” sahut Key memulai percakapan.
“Dua-duanya kerja. Kebetulan dua-dua sekarang nggak ada di rumah. Adikku yang paling kecil khan belum sekolah jadi di titipin ke uaku di kabupaten. Karena aku, Mas Andri dan Mbak Mirna sekolah jadi kami ditinggalin di rumah sama pembantu. Daripada aku main sama pembantu. Mending aku main ama kamu. ”
“Tapi kamu udah bilang ke rumah kamu belum?”
“Nanti aja di rumah kamu. Aku pinjem telepon kamu buat ngasih tau ama Mas Andri.”
“Emang kakak kamu sekolah dimana?”
“Mas Andri kelas 2 SMA di SMA Nusantara. Kalo Mbak Mirna kelas 2 di SMP Nusantara.”
“Wah kalo begitu, Mas Andri mu kenal sama Abangku Dimas donk ya. Dia juga kelas 2 di SMA Nusantara lho. Kalo Abangku yang paling tua udah kuliah tingkat 1 di Manajemen, namanya Bang Radit.”
“Oh, kakak kamu udah ada yang kuliah ya.”
Akulah saksi awal dari persahabatan 2 anak manusia. Key dan Liyah.
***
12 tahun yang lalu...
***
Tak menyangka. Gadisku ternyata sudah besar. Dari cakapnya kini aku tahu kini dia sedang marahan dengan sobat karibnya sejak 4 tahun yang lalu, Liyah. Dan kini dia ditemani temannya yang lain. Namanya Dian.
“Aku bener-bener nggak nyangka Liyah bisa setega itu ma aku. Gambar aku emang jelek, tapi nggak udah dipamerin githu deh. Padahal ya Yan, dia tuh tau banget dari kelas 1 SD, aku paling nggak benci ama yang namanya menggambar.”
Gadisku yang selama ini lebih banyak mendengar. Kini berbicara dengan lancar dan begitu emosional. Hal itu pasti sangat berat buatnya.
“Dian boleh ngasih masukkan nggak?”
“Tentang?”
“Ehm... mungkin gini Key, Liyah itu cuman mau nunjukin ma kamu kalau gambar kamu itu nggak separah yang kamu bayangkan. Buktinya masih layak dipajang di mading.”
“Tetap aja. Aku nggak bisa terima semua ini. Dia minta maaf seperti apapun.”
“Jangan githu donk. Persahabatan kita khan udah segini lama. Masa cuman bubar gara-gara masalah ginian doank?”
“Ehm... yang jelas hari ini aku nggak mau ketemu dia dulu deh.”
***
10 tahun yang lalu...
***
Gadisku kini berseragam putih-biru. Tak terasa. Garis-garis kecantikan mulai tertoreh di wajahnya. Gadisku sudah beranjak dewasa. Bersama karib barunya bernama Laras. Dia mulai berbicara tentang cinta. Sudah mulai tahu makhluk bernama cowok. Obrolannya kini berubah.
“Eh, si Rama katanya kemaren nembak kamu ya?” tanya Laras.
“Nggak kok. Buktinya sekarang aku masih sehat buger dihadapmu.”
Begitulah gadisku. Polos.
“Gubrak! Bukan begitu maksudnya. He ask you to be his girlfriend.”
“Emang aku ama dia dari dulu udah berteman khan?”
“Maksudnya pacaran Key! Payoye!”
“Ehm... Baru 2 hari yang lalu Bang Dimas cerita ama aku. Jangankan pacaran, ngomong berduaan ama laki-laki yang bukan muhrimnya aja dosa. Yang ketiganya setan. Padahal aku khan paling takut ama setan. Jadi... mendingan aku nggak usah punya urusan yang begituan lah.”
Bukan sekali ini aku mendengarnya menyebut kata-kata seperti...
“Bang Dimas bilang...” atau “Bang Dimas pernah cerita...” atau “Kata Bang Dimas...”
Ah, beruntungnya lelaki bernama Dimas itu. Mempunyai adik sesempurna gadisku.
“Tapi... kamu juga suka ma Rama khan?”
“ENGGAK!” jawabnya singkat tanpa bisa tutupi kesalahtingkahannya.
Ternyata gadisku sudah beger. Mulai merasa cinta. Walau tetap polos luar biasa.
***
Hari ini aku luar biasa syok. Kemana rambut panjang tergeray gadisku? Kemana lekuk tubuh indah gadisku? Tak ada lagi. Kini terbalut rapih. Gadisku kini berjilbab.
Hari ini dia kembali pulang bersama Laras.
“Kok tiba-tiba Key? Nggakn sayang apa? Rambut lo khan bagus, badan lo apa lagi.”
Dengan tegas gadisku menjawab...
“Kata Bang Dimas...” kata pamungkasnya.
“Karena kita harus sayang sama tubuh indah kita. Karena itulah kita harus memilih dengan selektif orang-orang yang bisa melihat perhiasan teragung kita.”
“Ya... aku sih cuma bisa ngedukung kamu aja.” kata Laras.
***
6,5 tahun yang lalu...
***
Gadisku sudah dewasa. Setengah jalan sudah dia di bangku SMA. Aku pun sudah tak muda lagi. Kini aku semakin jarang melihatnya. Namun, sekalinya dia ada di hadapku. Dia menangis di depan sobat SDnya LIyah. Ada apa gerangan? Biar kuceritakan sedari awal.
***
“Aku denger-denger dari temen-temenku yang di SMA Nusantara, Fajar, ketua OSISku dulu sekarang jadi calon kuat ketua Ikatan Remaja Mesjid SMA Nusantara ya? Kok bisa?”
“Bukan calon lagi Yah, udah kepilih tau!” kata Key.
“Seriusan kalian milih dia. Dia kan otoriter minta ampun. “
“Kamu jangan tanya sama aku dong Yah. Aku kan termasuk salah satu yang paling keras menentang dia. Tapi... apa mau dikata. Yang lain nggak mikir sama kayak aku.”
Di sinilah tiba-tiba gadisku menangis tersedu.
Di tanya ada apa oleh Liyah, Dia menjawab,
“Aku sebel banget ama orang itu.”
“Kenapa?”
“Aku juga nggak tau.”
“Sabar ya Key.” hanya itu kata yang terucap di bibir Liyah.
***
Kembali pada hari ini...
***
Baru saja seseorang masuk. Liyah. Sobat lama Key.
“Liyah khan?”
“Ya Allah, kau kah itu Key?”
A... terjadilah reuni 2 sahabat yang tlah terpisah tahunan.
“Key, sebenarnya kamu itu anggap aku apa sih? Kok aku tau kabar kamu ama Fajar dari orang lain. Nggak ngajak-ngajak aku lagi. Gini-gini aku masih ada hubungannya ma kesehatan tau.Teknik Lingkungan khan dulu namanya Teknik Penyehatan. Trus, udah sampe mana?”
“Proposalnya udah masuk lah pokoknya.”
“Terus jadinya kapan?”
“Liat aja nanti.”
Aku benar-benar tak mengerti pernyataan gadis-gadis fresh graduate ini. Tapi beberapa hari yang lalu aku juga mendengar percakapan gadisku dengan seseorang bernama Lili bahwa gadisku dan Lili ini akan membangun sebuah rumah sakit. Apa ini yang mereka bicarakan? Aku pun tak begitu mengerti.

Episode 1

Story-Guide 1 :
Pengarang memiliki kedaulatan penuh akan apa-apa yang akan dia karang. Tak akan ada yang mampu melarangnya menjalankan rencana-rencana yang terpikirkan olehnya. Apakah itu rencana itu sangat indah membuat dunia melayang bermimpi tak lagi berpijak di bumi. Apakah itu rencana yang kejam menghempas dunia ke dasarnya yang membara.
***
Namaku Keisya.
Murid kelas 2 SMA Harapan Muda atau biasa kami singkat Harmud. SMA Harapan Muda adalah salah satu SMA favorit di kota Bandung ini. Setiap angkatan terdiri dari empat kelas dan di setiap kelasnya terdapat tak lebih dari 35 orang murid. Sebagai salah satu SMA favorite kami memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan aturan disiplin yang ketat. Karena itu, bayaran di sekolah kami pun sedikit lebih tinggi daripada SMA pada umumnya. Oleh karena itu, hanya orang-orang dengan ekonomi menengah rada ke atas dan tingkat ekonomi tinggi yang mampu bersekolah di SMA ini.
Ada empat type anak Harmud, setidaknya ini menurutku.
Type satu, walaupun berasal dari tingkat ekonomi yang high, anak-anak type satu ini biasanya ke sekolah dengan pakaian “baju adik”. Sayangnya anak-anak model ini lebih suka menghabiskan uangnya di mol-mol dari pada membeli kebutuhan primer mereka yang jelas-jelas lebih pantas untuk mereka prioritaskan. Anak-anak macam ini sering membuat penjaga sekolah berapi-api. Populasinya sekitar 20%.
Type dua, anak-anak type dua ini nggak kalah tajir dari anak-anak type satu. Namun, mereka lebih cerdas dalam berpakaian dan biasanya berkacamata tebal. Bertolak belakang dengan anak type satu yang hanya bisa bertengger di barisan paling akhir ranking kelas, manusia-manusia type dua ini tak pernah lepas dari podium ranking. Sekolah tak perlu susah-susah memikirkan mereka. Orang-orang macam ini biasanya mempunyai jadwal les ini dan les itu setiap harinya. Sayangnya orang-orang ini hampir tak punya waktu untuk sekedar bermain dan bercanda dengan teman sebangkunya. Aku pikir, orang-orang ini terserang penyakit gila nomor 8, menurut ilmu penyakit jiwa yang ditutur Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi nya. Anak-anak type dua ini hanya bisa ditemukan di empat tempat pada empat waktu. Di kelas ketika jam pelajaran, di perpus saat istirahat, di masjid kampus ketika waktu shalat dan di toilet ketika mereka ingin buah air dan berwudhu. Untungnya orang-orang macam ini hanya ada 10%.
Type tiga, anak-anak type tiga ini biasanya berpenampilan rapih, pintar berbicara juga berkilah dari janji. Persis para pejabat. Hal yang terakhir sih tidak semua. Orang-orang macan ini menghabiskan separuh dari hidupnya untuk rapat membahas hal-hal yang menurutku sangat membosankan. Dengan kesibukan macam itu, mereka masih bisa merebut prestasi yang cukup fantastis. Walau tak seperti orang type dua yang tak pernah lepas dari podium ranking, mereka selalu merebut kedudukan 10 besar. Atau sebontot-bontotnya 15 besar. Beruntungnya Harmud, orang-orang macam ini hanya ada 20%. Bisa ditebak orang-orang type tiga ini akan kita temukan di ruang OSIS, ruang Ekskul atau koridor timur (kortim) mesjid sekolah.
Sedangkan type empat adalah orang-orang biasa macam aku, Rena juga Lani. Seperti 50% anak Harmud lainnya, kami memang tak se”wah” orang-orang type dua dan type tiga. Kami dapat nilai 6 dengan belajar sungguh-sunguh, dapat nilai 7 dengan belajar jungkir balik, dapat nilai 8 dengan belajar mati-matian, dapat nilai 9 dengan belajar sampai muntah dan hanya keberuntungan yang membuat kami dapat nilai sempurna. Sering turut berpartisipasi dalam kegiatan keorganisasian namun tak pernah dapat posisi lebih tinggi dari staf. Type empat ini (juga sebagian type tiga), biasanya menduduki tingkat ekonomi menengah rada ke atas. Anak-anak type tiga dan empat ini biasanya menunggu orang tua mereka pulang agar bisa ngirit ongkos yang melambung tinggi akibat naiknya harga BBM. Bedanya, orang-orang type empat ini sangat suka sekali memanfaatkan masjid sekolah Harmud atau taman sekolah untuk tempat mereka belajar menunggu para orang tua mereka menjemput mereka. Ketika istirahat pun kami memanfaatkannya untuk makan, shalat juga terkadang kami manfaatkan untuk tidur. Melepas lelah dan penat. Kadang juga mengerjakan PR yang tak sempat dikerjakan di rumah. Walau sekolah masih tetap harus berpikir keras memikirkan orang macam kami, tapi kami cukup membuat sekolah ini bangga karena punya murid pekerja keras macam kami.
***
Namaku Ananti Keisya Fardani.
Umurku 16 tahun. Biasa dipanggil Ade. Anak tunggal di kartu keluarga. Alias anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak lelakiku sudah menikah.
Abang tertuaku, Raditya Surya Fardani, umurnya terpaut 12 tahun dariku. Anaknya baru aja lahir. Namanya Nadia. Mbak Kiran yang terpaut umur enam tahun dari Bang Radit belum cukup kuat untuk mengunjungi kami di Bandung. Abangku yang lulusan sarjana dan magister Fakultas Ekonomi ini bekerja salah satu perusahaan kontraktor terkemuka di ibu kota sebagai manager pemasaran. Mbak Kiran sendiri adalah lulusan sebuah akademi kesekretariatan. Baru lulus lima bulan yang lalu. Waktu itu perutnya sudah mulai membesar.
Abangku yang kedua, Dimas Iskandar Fardani, terpaut umut 10 tahun denganku. Teh Reni sedang menghitung hari, menunggu kelahiran putra pertamanya. Berbeda dengan Mbak Kiran, Teh Reni hanya dua tahun di bawah Bang Dimas. Berarti lebih tua dua tahun dibanding Mbak Kiran. Bang Dimas adalah lulusan Teknik Perminyakan sedangkan Teh Reni adalah lulusan Farmasi di institut teknologi yang sama. Mereka kini mencoba berkontribusi untuk menurunkan harga minyak dunia. Mencari sumber-sumber minyak baru di pelosok Kalimantan sana.
Setelah Bang Dimas lahir, ibuku ikut KB. Namun, karena hasrat ingin memiliki anak perempuannya begitu tinggi. Setelah sembilan tahun lebih absen, akhirnya ibuku pun mengandung dan melahirkanku ke dunia. Karena aku adalah anak perempuan yang begitu dinantikannya. Maka dialah yang memberiku nama, berbeda dengan dua abangku yang diberi nama oleh ayahku. Ananti adalah singkatan dari anak perempuan yang dinanti, Keisya adalah nama yang telah ibuku persiapkan untuk anak perempuannya semenjak dia gadis, dan Fardani adalah nama yang juga dimiliki dua kakak lelakiku yang merupakan singkatan Farah-Dani. Ibuku bernama Farah Saphiyah dan ayahku Achmad Ramdani.
Kalau ditanya siapa pribadi paling berpengaruh dalam diriku. Dia adalah Bang Dimas. Kepribadianku memang lebih mirip dengan Bang Radit, namun Bang Dimas lah yang lebih banyak mencecoki pemikiranku. Kerudung yang terpakai olehku sejak kelas 2 SMP pun hasil cekokannya. Makanya, ketika tahun lalu dia menikah dengan Teh Reni. Aku dibuatnya nangis bombay.
***
Namaku Key.
Begitulah aku dipanggil teman-temanku, oleh Rena dan Lani. Kami satu kelas di SMA Harapan Muda. Kami punya ketertarikan yang sama. Buku. Buat kami, buku adalah sahabat yang paling setia. Kami memang bukan siswa yang brilian. Namun tak juga memalukan. Rena ranking 8, aku ranking 10 dan Lani peringkat 12.
Selain itu kami bertiga memang ambil sedikit bagian dalam Ikatan Remaja Mesjid sekolah. Bukan karena apa-apa, karena kami sering “nongkrong” di sana. Aku lah yang pertama mengusulkannya. Kupikir mesjid adalah tempat yang paling ideal untuk dijadikan tempat belajar dan menunggu ayah kami menjemput kami.
Hari ini... seperti biasa...
Sepulang sekolah, kami pun bergegas menuju tempat favorit kami. Koridor selatan mesjid sekolah. Lalu kami pun asyik membicarakan Laskar Pelangi. Buku itu kini sudah menjadi buku wajib baca buat anak-anak SMA Harapan Muda, terutama untuk type tiga dan type empat. Rena yang pertama kali memulainya.
“Apa arti sebuah mimpi ya Key?”
“Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.”
“Arai?” sahut Lani.
“Tuhan tahu tapi menunggu.” Sahutku lagi.
“Arai lagi?” kembali Lani.
“Mimpimu apa Key?” kini giliran Rena.
“Bekerja di daerah untuk rakyat.”
“Sebenernya buat apa kita hidup di dunia ini Key?” kini Lani.
“Untuk bersyukur. Mensyukuri hidup, mensyukuri dengan berjuang terus untuk tetap hidup.”
“Baca buku apa kamu?” Rena kini.
“Itu kata-kata Abangku.”
“Kerja di daerah juga impian abangmu khan?”
“Aku jadi penasaran deh. Ama abangmu itu. Kalo lagi di Bandung kapan-kapan kenalin donk.”
“Ih... kalian ini kegenitan ya, Abang-abangku tuh udah tua tau.”
Dan tiba-tiba...
“Adiknya Kang Dimas ya?”
Ya, ini sudah yang kesekian kalinya. Aku tak tahu apa yang sebenernya dilakukan oleh abangku itu. Adik-adik kelas di kampusnya begitu terkenang akan dia. Lebih tepatnya aku tak pernah mau peduli tentang hal lain mengenai abangku itu. Ku pikir hanya mngenalnya sebagai kakakku akan lebih nyaman buatku.
“Teteh, kenal abang saya dari mana?”
Akhirnya dia bercerita mengenai dirinya. Dia ternyata adik kelas Teh Reni di kampusnya. Namanya Lili. Begitu juga dengan kami, mengenalkan diri masing-masing. Dia juga bertanya tentang kelas kami. Dan yang membuat kami terkejut adalah...
“Kalian juga pasti kenal ama adik Teteh. Soalnya dia di kelas yang sama dengan kalian. Namanya Fajar.”
Kami pun saling berpandangan penuh arti. Bagaimana mungkin seorang Fajar mempunyai kakak semanis Teh Lili ini. Allah sungguh mahaadil.
Fajar. Dia adalah ketua Ikatan Remaja Mesjid. Dia memang sekelas dengan kami. Dia rival debatku. Satu-satunya yang menanggapi pendapat-pendapatku di kelas sewaktu pelajaran Sejarah. Tanpa dia, pendapat yang ku utarakan hanya akan jadi nasi basi yang hanya pantas dimakan ayam. Di luar itu, kami tak pernah berhubungan. Jangankan mengobrol, saling menyapa pun kami tak pernah.
Aku mengerti. Suatu ketika Bang Dimas pernah bercerita padaku. Laki-laki dan perempuan memang harus menjaga pandangan. Jaga hijab, begitu katanya. Tapi... aku bingung kenapa hanya pada orang-orang tertentu saja dia bersikap seperti itu. Aku, Rena dan Lani adalah salah tiga nya. Rena dan Lani memang sudah memakai kerudung sejak mereka SD. Waktu itu mereka bersekolah di sekolah yang berlabel Islam. Sedangkan pada perempuan seperti Kitri, Cherry juga Venny yang anak type satu, dia sangat cair dan terbuka. Aku tahu pasti Fajar punya alasan sendiri mengapa melakukan itu semua. Namun, tetap saja aku pikir sikapnya itu menyebalkan.
Selain sikap menyebalkannya itu, kami baik-baik saja. Tak pernah ada masalah. Sampai pada kejadian tadi siang...
Hari ini kami praktikum kimia satu kelompok di sebuah praktikum kimia. Aku, Rena, Lani, Fajar dan dua teman prianya yang lain, Dika dan Guruh. Pembagian kelompok dilakukan oleh guru kimia kami. Kami tak bisa menolak. Lagi pula tak ada alasan untuk menolak.
Harus ku akui sifat kolerisnya memang mampu membuat kami mengerjakan seperti apa yang dia kehendaki. Sangat efektif. Ini berlangsung baik sampai aku melakukan sebuah kesalahan.
Tabung reaksi yang menjadi tanggung jawabku tak sengaja kupecahkan. Dan dia marah besar kepadaku. Dua temannya pun ikut terbengong-bengong, tanda sebelumnya mereka belum pernah melihat Fajar semarah itu.
Aku pun menunggu sampai suasana sedikit mendingin. Baru aku minta maaf padanya. Tentu saja ditemani Rena. Bang Dimas pernah bilang kalau ada dua orang yang bukan muhrim berduaan yang ketiga itu setan.
“Emm... aku tau, aku salah Jar. Tapi... aku tadi tuh bener-bener di luar kendali aku. Maaf ya.”
“Hm...”
“Kamu masih marah sama aku?”
“Kapan aku marah sama kamu?” katanya dengan nada membentakku.
Seumur-umur baru Fajar yang berani membentakku seperti itu. Ini di luar ambek-ambekan teu puguh dengan skenario yang dilakukan oleh tatib-tatib MOS kemarin. Aku pun langsung meninggalkannya dengan kesal menuju kamar mandi mesjid sekolah.
Di situ, aku menangis sejadi-jadinya di telepon.
“Ade tau. Kesalahan Ade emang cukup fatal. Makanya Ade minta maaf sama dia. Tapi khan bukan berarti dia boleh memperlakukan Ade seenaknya kayak githu.”
“Duh, adenya Abang nangis. Cup-cup.”
“Abang! Malah ngeledek!.”
“Idih, siapa yang ngeledek. Mo percaya abang nggak?”
“Apa?”
“Kalo emang ceritanya githu. Percaya ama abang. Fajar itu suka sama kamu. Hahaha!”
“Tuh khan. Abang masih ngeledekin Ade terus.”
“De, kalo nggak percaya. Kamu boleh tanya sendiri sama orangnya.”
“Abang! Serius donk Bang!”
Abangku ini memang selalu meledekku setiap aku bercerita tentang teman lelakiku. Sewaktu SD aku pernah cerita tentang teman lelakiku yang sangat iseng kepadaku. Seminggu penuh aku diledek olehnya. Habislah aku. Kebodohanku adalah masih tetap cerita tentang semua teman lelakiku yang lain. Dan tiap ada orang baru dalam ceritaku, dia selalu meledekku.
“OK. Sekarang Abang serius deh. Sebenernya kalau pun ada orang yang nggak suka sama kamu atau ada orang yang nggak kamu sukai. Itu wajar. Manusiawi. Hidup ini keras Key. Abang yakin semakin kamu besar, semakin luas pergaulan kamu, nanti kamu akan melihat banyak orang yang lebih aneh dan lebih menyebalkan dari hanya seorang Fajar. Abang mo cerita pengalaman Abang waktu kuliah. Tapi, jangan bilang-bilang Ibu ya.”
Ya, beginilah cara Bang Dimas mendidikku. Posisinya bukan saja sebagai kakak, tapi juga guru. Mahaguruku untuk urusan hidup. Aku tak tahu apa saja yang dilakukannya selama sekolah dan kuliah. Tapi pengalamannya tak pernah habis untuk dia ceritakan padaku.
Oo... kembali ke koridor selatan mesjid sekolah.
Setelah itu Teh Lili pun pamit. Dewi sudah menunggu. Ya, Teh Lili dan Dewi sepertinya memang sudah janjian untuk bertemu.
***
Story-Guide 2 :
Keisya... aku bingung denganmu. Kau bercerita dengan sangat populer. Hanya bercerita tentang SMA Harapan Muda dan keluarganya juga kegiatan yang dilakukannya bersama teman-temannya. Yang terakhir malah memperlihatkan kalau dia ini cengeng juga manja. Juga sangat tergantung terhadap kakaknya. Ini akan membuat seakan-akan hasil pikirannya hanyalah corong dari pemikiran kakaknya. Ini berbahaya kalau terus dibiarkan.
Dimas memang punya peranan penting dalam pembentukan pribadi Keisya. Tapi dalam nada ceritanya, Keisya seakan sangat bergantung pada kakaknya itu. Ini salah.
Tiga bab sudah aku sediakan untuknya. Aku belum juga mengerti kemana Keisya ingin membawa cerita tentang dirinya. Bagaimana pembaca bisa tau keistimewaan tentang dirimu? Tak boleh kubiarkan Keisya merusak imagenya sendiri.
Pada dasarnya Keisya adalah pribadi yang tertutup, objektif, rendah hati dan sulit ditebak. Dia orang yang menyenangkan dan piawai dalam membina pembicaraan-pembicaraan yang populer. Bisa dilihat dari caranya bercerita. Walau menurutku dia terlalu hati-hati. Aku curiga selanjutnya dia akan cerita bagaimana menyenangkannya berlibur dengan teman-teman liburan kenaikan kelas kemarin.
Jadi kupakai Rena untuk membuka sisi lain dari seorang Keisya.
***
Namaku Rena.
Aku tau selama ini Key yang memegang tambuk cerita ini. Aku tak mau merubah tokoh utamanya. Tetap Key, tapi akan ku tambah dengan Fajar. Kukira Key tak akan marah bila kupinjam teorinya mengenai empat type anak Harmud.
Aku dan Key bertemu untuk pertama kalinya di hari pertama kami sekolah. Saat itu Key sendiri. Aku dan Lani yang sudah bersahabat sejak SMP pun mendekatinya.
“Kenalan donk.”
“Keisya.”
Ucapan tegas namun sambil tersenyum tulus. Cerminan pribadi yang kuat tapi menyenangkan.
Seorang Keisya adalah seorang melankolis bila diajak merasa dan berpikir. Seorang sanguinis bila diajak bermain dan bercanda. Seorang plagmatis bila dimintai pendapat hal-hal yang tak menarik dan dirinya merasa tak kompeten akan hal itu. Dan seorang koleris bila sudah berdebat. Keisya yang seperti ini yang selalu kami hindari. Hanya abangnya, Dimas, yang sebanding berdebat dengannya.
Ngomong-ngomong soal abangnya. Dia itu ternyata adalah Ketua OSIS di masanya di sekolah ini dan Presiden Mahasiswa di masanya di kampusnya. Orang type tiga, tak jarang pula anak-anak type tiga masa kini membicarakannya. Salah duanya adalah Fajar dan Kamil. Dua orang paling punya pengaruh di kalangan murid Harmud.
Kupikir Dimas yang lain. Dimas adalah sebuah nama yang akan ada lebih dari satu di setiap angkatannya. Aku selidiki fotonya di arsip kepunyaan Ikatan Remaja Mesjid sekolah. Persis sekali dengan foto yang ada di foto keluarga yang selalu dibawa kemana-mana oleh Keisya. Selain jadi ketua OSIS ternyata abangnya Keisya ini juga aktif di Ikatan Remaja Mesjid. Benar-benar alumni yang legendaris.
Dalam berdebat, dia tak mau kalah, keras kepala. Aku dan Lani sudah menerimanya apa adanya. Bila terjadi perdebatan, kami hanya bisa mendengarnya memaparkan argumen-argumennya. Detail dan akurat. Dan kami perlu argumen lebih detail dan literatur yang lebih akurat dari pada argumen dan literaturnya.
Tak jarang guru-guru yang keteteran karena sikap tak pernah mau kalahnya. Untuk memperjuangkan nilai 0,5 dia rela datang ke perpus, mencari literatur yang lalu dia sodorkan pada guru.
“Bukan masalah nilai 0,5 Ren. Ini adalah soal kebenaran yang harus kita cari dan harus kita perjuangkan.”
Itulah jawabannya ketika aku menegurnya ketika dia keukeuh akan protes pada guru kami. Saat itu kubilang, dia merugi bukannya untung. Kupaparkan argumenku.
“Ongkos ke pusda bukan uang yang kecil, Key. Belum lagi mencari-cari buku di sana. Semua pengorbanan itu tak sebanding dengan nilai 0,5. Belum lagi belum pasti juga kamu bisa dapetin buku yang kamu mau khan.”
Ini adalah ukuran argumen minimal yang akan dianggap serius olehnya. Di bawah standar itu dia akan menjawabnya dengan senyuman yang terjemahannya adalah...
“Kau tak tau apa-apa soal ini. Lebih baik kau hanya tau aku tersenyum. Aku tak ingin menyakitimu lebih jauh.”
Lani adalah orang yang paling sering dapat senyuman darinya. Dan Nila terlalu polos untuk mengerti arti senyuman Key.
Kami adalah kelas IPA, tetapi sekolah memutuskan kami tetap harus belajar sejarah. Dan... inilah komentarnya ketika tau akan hal itu.
“Bukannya aku nggak suka sama pelajaran Sejarah. Aku malah sangat apresiatif terhadap keputusan sekolah untuk memberikan pelajaran Sejarah buat seluruh murid SMA Harmud. Tapi kalo pengajarannya masih kayak begini buat apa kita belajar sejarah. Yang terpenting dari belajar sejarah bukan apa dan siapa. Tapi mengapa dan bagaimana. Tanpa itu, pengajaran sejarah nggak akan ada bedanya dengan ppkn. Hanya sekedar doktrin akan kebenaran politik yang terjadi saat ini. Untuk semakin mengukuhkan orang-orang yang saat ini berkuasa.”
Karena pernyataan yang inilah Keisya jadi begitu disayang oleh Bu Indah. Bahkan Bu Indah tanpa segan berdiskusi dengannya tentang bagian mana yang penting dari sebuah materi ajar. Sikap Bu Indah yang terbuka membuat pelajaran Sejarah jadi lebih menarik daripada pelajaran apapun.
Kamil, sang ketua OSIS pun pernah membujuknya untuk ikut berkontribusi di pengurus asuhannya. Namun, Keisya menolaknya dengan alasan tak kompeten. Dewi, koordinator akhwat Ikatan Remaja Mesjid tak cuma sekali merekrutnya. Kembali dia menolaknya dengan alasan yang sama. Walaupun pada akhirnya dia menerima dengan syarat aku dan Lani harus ikut juga. Inilah sisi plagmatisnya atau lebih tepatnya sisi apatisnya.
Sekarang, Fajar. Penghuni tetap kortim masjid sekolah. Ketua Ikatan Remaja Mesjid. Key dan dia punya satu kesamaan, keras kepala. Mereka berdua begitu mewarnai pelajaran Sejarah kami. Pemikiran mereka hebat. Pemikiran yang hanya di miliki 5 orang di antara 1000 orang lainnya. Mereka berdualah yang telah membuat banyak perubahan dalam caraku berpikir.
Saat itu pelajaran Sejarah. Saat itu kami sedang belajar tentang kebijakan presiden Soekarno tentang Nasakom.
Fajar langsung bersuara.
“Menurut saya, kesalahan dari kepemimpinan Soekarno adalah pada saat dia menggelegarkan ajaran Nasakom. Seperti kita ketahui bersama nasionalis dan agama atau nasionalis dan komunis itu masih bisa disatukan. Tapi jelas-jelas komunis itu bertentangan jelas dengan agama. Komunis tak mengakui adanya Tuhan dan agama pun disebutnya sebagai candu.”
‘Menurut saya’ adalah kata yang wajib yang harus diucapkan orang-orang yang benar-benar mengerti soal sejarah. Itu kata Bu Indah.
Keisya sang rival pun langsung angkat tangan.
“Saya sangat menghargai pendapat Saudara Fajar.”
Ini juga kata-kata wajib yang harus diucapkan orang-orang yang benar-benar mengerti soal sejarah. Lagi-lagi kata Bu Indah.
“Tapi... saya tidak yakin Soekarno seceroboh itu sampai tak tau apa-apa yang tadi dipaparkan oleh Saudara Fajar. Bagaimana pun Soekarno adalah seorang pemimpin yang sangat berdedikasi. Sebelumnya saya minta maaf, tapi pernyataan Saudara itu seperti sebuah keraguan akan kredibilitas Soekarno sebagai seorang pemimpin besar.”
“Jadi?” jawabnya dengan wajah khas seeorang pemimpin yang tertarik dengan perkataan yang disodorkan lawan politiknya. Persis muka Bush, Obama atau Sarkozy.
“Saya lebih suka berpendapat kalau Soekarno kurang pintar bermain kata. Dan harus diakui itu sering terjadi di dunia kebahasaan kita. Menurut saya, itu lebih masuk akal untuk latar belakang seorang Soekarno yang teknisi dan bukan sastrawan. Daripada kita harus meragukan pemahaman Soekarno akan arti komunis dan agamis.”
“Saya tunggu bukti dari Saudari.”
Kalau sudah begini, pelajaran Sejarah akan jadi pelajaran yan paling ditunggu pekan depan.
Seminggu kemudian...
“Ananti, kamu sudah temukan buktinya?”
“Saya sudah membaca buku Di Bawah Naungan Merah-Putih yang ditulis sendiri oleh Soekarno. Hari ini saya bawa fotocopinya. Dan hipotesis saya terbukti. Beliau sama sekali tidak beranggapan kalau komunis yang beliau maksud di sini adalah komunis yang bertentangan dengan agama. Lebih pada sosialis. Bahkan disini tertulis ayat-ayat Al-quran yang tidak bertentangan dengan ajaran sosialis. Kalau boleh saya buka, saya sering membaca buletin yang suka berceceran di mesjid. Tentang sistem ekonomi yang benar menurut agama islam. Saya tidak bisa bilang itu sama. Namun, saya pikir banyak kesamaan antara konsep ekonomi islam dengan ajaran sosialis. Itulah juga yang dipikir Soekarno sampai-sampai dia berani menyandingkan agama dan komunis.”
Jadi selama ini dia membaca buletin-buletin itu. Kupikir dia hanya melihatnya sekilas dan melupakannya. Tak kusangka dia mencerna kata-kata yang tertulis di buletin yang biasa kami pungut dan balikannya kami jadikan kotretan.
Fajar dan Keisya memang membuat pelajaran Sejarah menjadi lebih berarti dan lebih punya warna. Terutama buat anak-anak type dua dan type tiga.
Type empat terkadang hanya terbengong. Tapi kuhargai usaha orang-orang yang juga sepertiku. Setidaknya ada keinginan belajar dalam diri kami. Butuh waktu sedikit lebih banyak untuk merenungkan apa-apa yang Keisya dan Fajar perdebatkan. Aku yakin Keisya bahkan merenungkan hal ini lebih lama dari kami. Ini hanya masalah waktu. Keisya sudah merenungkan ini semua lebih dulu dari kami.
Anak-anak type satu yang paling parah, biasa mabal di pelajaran ini. Mereka terlalu malas memikirkan apa-apa yang kami diskusikan.
Sekali-dua kali aku memergoki Fajar memberikan tatapan aneh pada Keisya. Tentu saja Keisya tak pernah menyadari. Bahkan aku curiga kalau Fajar pun tak pernah menyadari tatapannya yang aneh buat Keisya.
***
Story-Guide 3 :
Cukup. Masalah Fajar biar dia yang ceritakan sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya dan Keisya hanya Fajar sendirilah yang mengetahuinya. Keisya? Dia terlalu tertutup untuk jujur dan menceritakan semuanya. Tak mungkin dia mau ceritakan yang sesungguhnya terjadi. Namun yang jelas, Rena tak kompeten berkomentar soal ini.
Aku bingung, siapa yang akan ku dahulukan untuk bercerita. Beri aku waktu sedikit lagi.
....
Sudah kupikirkan. Lani lah yang akan bercerita selanjutnya. Ada sesuatu yang menarik antara dirinya dan Keisya.
***
Namaku Lani.
Adalah seorang Keisya. Teman dekatku selain Rena. Ada banyak sisi menarik dari dirinya. Salah satunya adalah kisah yang akan kuceritakan.
Ini terjadi ketika awal-awal masa kepengurusan OSIS. Aku lihat Kamil, mengajaknya bicara berdua. Jarang memang Key mau bicara hanya berdua. Awalnya dia minta aku menemaninya. Namun, Kamil menolakku dengan halus. Akhirnya Key pun luluh dan mau berbicara berdua saja dengan Kamil.
“Kamil tadi ngapain?” tanyaku.
“Ngajakin aku jadi anak OSIS.”
“Terus?”
“Aku tolak.”
“Kamu ini aneh ya, orang-orang itu ada yang sampe bertangis air mata darah buat jadi anak OSIS. Kamu yang diajakin sama ketuanya nolak. Aneh! Emang kenapa sih?”
Sudah kuduga dia akan menjawabnya dengan senyuman. Senyuman yang selalu kudapat setelah aku bertanya perilaku-perilaku ‘aneh’nya. Seperti saat ini. Aku tak tau artinya senyumannya yang sebenarnya. Namun, karena sudah kuputuskan untuk menjadi temannya. Ku putuskan untuk mengartikannya,
”Kau hanya perlu menemaniku. Tolong jangan tanya lebih jauh lagi padaku.”
Ya, memang sudah kuputuskan jadi temannya. Aku akan konsisten terhadap keputusanku yang satu ini. Aku akan selalu jadi temanmu. Yang akan terus menemanimu dalam perjalanan pikirmu. Apapun keputusan yang telah kau buat.
“Jadi kenapa kamu nolak?” aku masih penasaran.
“Karena aku cantik.” jawabnya setelah senyumannya habis.
Gabruk!
***
Namaku Fajar.
Aku tau aku bukanlah orang pertama yang bercerita di sini. Aku juga yakin orang-orang sebelumnya telah berbicara tentang aku. Jangan percaya. Akulah yang paling tau siapa aku. Bukan orang lain.
Aku memang menjabat sebagai Ketua Ikatan Remaja Mesjid. Tapi ku pikir itu bukanlah hal yang menyenangkan. Aku jadi selalu disorot dan nama Ikatan Remaja Mesjid akan tercoreng jika ada yang tak beres denganku.
Aku baru mengerti mengapa ada sebuah grup band yang menyatakan wanita adalah racun dunia dan dia bisa rusakkan semua. Ada juga yang bilang dunia yang digenggam tak ada artinya bila dia tak dapatkan cinta dari seorang wanita. Wanita memang menarik, bahkan untuk wanita nya pun itu sendiri. Tak pernah ada yang bisa mengerti kemauannya, bahkan wanita itu sendiri. Sungguh makhluk istimewa.
Sebenarnya aku lebih suka menyebut mereka perempuan. Asal kata wanita adalah batina yang berarti anjing betina. Sedangkan kata perempuan berasal dari kata mpu yang berarti pemilik dan puan yang berarti kehormatan. Aku banyak belajar dari David Becker di Digital Fortress nya Dan Brown. Walau pun Dan Brown adalah seorang Darwinis, setidaknya begitulah menurutku, aku tetap bisa banyak belajar darinya.
Kalian berpikir pasti ini semua murni kata-kataku. Sayangnya tidak semua. Satu kalimat terakhir aku pelajari dari seorang perempuan bernama Keisya.
Awalnya dia sama saja dengan sebagian besar anak perempuan yang lain di kelasku. Sama dengan mereka berkerudung cekek. Suka berkumpul di depan kelas ngegosip nggak jelas atau main cap-cap-gulicap saat guru tak masuk kelas. Hanya saja kerudung Keisya dan dua kawannya, Rena dan Lani, memang sedikit lebih panjang mengulur ke dada. Memang jauh bila kita sandingkan dengan Dewi serta akhwat lainnya semisal Sari dan Huda. Namun, ini cukup untuk jadi alasanku untuk menghormati Keisya, Rena dan Lani selayaknya aku menghormati akhwat-akhwat lainnya.
Tapi anggapanku tentang seorang Keisya adalah perempuan biasa terkikis habis ketika pada suatu hari guru PPKn memaki-maki orang-orang komunis. Tidak ada yang mendengar makiannya, termasuk aku.
Jujur saja, aku tak begitu suka dengan pelajaran-pelajaran macam ini. Satu arah. Guru adalah subjek dan murid adalah objek penderita. Aku bahkan berani berkata PPKn tak lebih daripada ajaran Soehartoisme yang sudah tak laku lagi di zaman reformasi seperti saat ini.
“Biar kata orang-orang komunis, aku tetap bisa banyak belajar dari mereka. Karena tidak akan ada yang merasa dirinya salah. Sekalipun orang itu sudah mengaku bersalah. Aku yakin sekecil apa pun bagian dalam dirinya pasti bilang dirinya tidaklah salah.” sahut Keisya yang duduk di bangku seberangku.
Anak itu!
Keisya adalah teman diskusi yang mengasyikan. Pandangannya luas, analisisnya detail dan sumbernya akurat. Mungkin orang seperti dia hanya ada satu diantara 560 orang di Harmud. Ketika ada suatu masalah yang terjadi tanpa sadar aku berusaha duduk dekat tempat duduknya. Aku memasang kuping dan mencoba menangkap komentarnya tentang masalah itu. Kalau tidak aku menatapnya dari jauh dan berusaha menangkap gerak bibirnya.
Semua masih berjalan wajar sampai suatu ketika kami dikelompokan dalam kelompok praktikum yang sama. Aku semakin kagum dengan perempuan yang satu ini. Begitu cekatan. Pekerjaannya bagus dan sudah selesai sebelum waktunya. Aku pun menyuruhnya mengerjakan tugas Lani.
Prang!
Tabung reaksi yang dipegangnya jatuh tepat di sebelah tangan kirinya. Isi tabung itu adalah HCl 2 M. Sedikit lagi, bisa langsung membabat habis tangannya.
“Key, kamu tuh kalau pegang tabung reaksi yang serius donk!”
Aku tak sadar kalau suaraku begitu kerasnya. Itu di luar kendaliku. Aku melihat Guruh dan Dika yang bengong serta Keisya yang diam tak berkutik. Aku jadi merasa sangat bersalah. Melihat aku yang seperti itu, aku yakin tak akan ada satu orang pun yang mau mendekatiku. Aku pun akhirnya pergi dari ruangan itu. Dan menuju ke masjid. Aku shalat dhuha.
Ada apa denganku? Aku begitu takut dia mengalami sesuatu yang buruk. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan rival diskusiku itu. Aku berucap istigfar ratusan kali.
Sekembalinya aku ke kelas. Keisya dan Rena mendekatiku.
Satu lagi unik dari dirinya. Hanya sekali ku lihat dia berdua dengan lelaki. Bersama Kamil. Dan aku tau betul, sebelumnya dia meminta Lani untuk menemaninya. Kamil menolaknya.
“Emm... aku tau, aku salah Jar. Tapi... aku tadi tuh bener-bener di luar kendali aku. Maaf ya.” katanya dengan muka sangat bersalah.
Jantungku berdetak kencang. Aku hampir tak bisa mengendalikan seluruh gerak tubuhku.
“Hm...” hanya itu yang mampu aku kusuarakan. Aku mau mengucapkan hal yang lebih dari itu. Bilang aku tak pernah marah padanya. Namun, aku tak mampu.
“Kamu masih marah sama aku?”
Perkataannya yang ini makin membuatku merasa bersalah. Kalau saja aku bisa mengurangi angka denyut jantungku. Akan kukurangi sampai dua digit. Dan aku akan menenangkannya seperti aku menenangkan Venny ketika dia hendak menjenggut rambut Kitri. Tapi di depanku adalah Keisya, juga Rena.
“Kapan aku marah sama kamu?” teriakku.
Sial!
Bodoh!
Aku semakin terlihat bodoh dengan mengutuki diriku sendiri.
Ada apa sebenarnya dengan diriku ini?
Wanita memang racun dunia.
***
Namaku Dewi.
Koordinator akhwat Ikatan Remaja Mesjid. Aku adalah penghuni tetap koridor timur mesjid sekolah. Bersama Fajar, Dika, Hasan juga Sari dan Huda. Aku, Fajar dan Dika berada di kelas yang sama. Sedangkan Sari, Huda dan Hasan menyebar di tiga kelas yang berbeda.
Hari ini Fajar sungguh aneh. Dia begitu tak fokus memimpin rapat ini. Akhirnya kuberanikan diri untuk berbicara. Adab majelis, aku mengacungkan tanganku,
“Afwan, Akh Fajar, Ana pikir antum sudah tidak fokus lagi memimpin rapat ini. Ya... mungkin antum punya masalah di rumah. Ana pikir, lebih baik rapat ini di pending aja.”
“Nggak perlu. Ana akan coba untuk lebih konsentrasi.” katanya.
“Em... ana pikir. Kalau pun rapatnya tidak di pending, setidaknya antum menyerahkan pimpinan syura pada orang yang lebih bisa berkonsentrasi.” kataku lagi.
Tak pernah aku melihat Fajar semerana itu. Akhirnya dia pun menyerahkan tampuk kepemimpinannya pada Dika.
Seusai rapat akan ku konfirmasi semua kecurigaanku selama ini.
“Akh Dika, ana mau bicara sebentar dengan antum. Ada yang harus ana perjelas mengenai proker terdekat kita.”
Akhirnya, aku, Sari dan Dika rapat bertiga. Proker ini memang tanggung jawab kami bertiga.
“Ana minta tolong, coba antum cek lagi data-data yang ini. Dan... sebelumnya ana minta kepada Ukh Sari dan Akh Dika untuk merahasiakan pembicaraan kita bertiga hari ini. Dan kalau seandainya Ukh Sari tidak mengerti, ana minta maaf. Ana yakin Akh Dika sudah bisa menebak arah bicara ana akan kemana. Ana hanya ingin konfirmasi, selama ini ana curiga ada sesuatu yang terjadi dengan Akh Fajar dan salah seorang teman perempuan yang sekelas dengan kita. Dan puncak keanehannya adalah tadi.”
“Sebetulnya ana juga sudah lama curiga dengan perhatian Akh Fajar yang cenderung berlebihan kepada teman perempuan kita itu. Tapi, Akh Fajar bilang dia hanya mengagumi sosok teman perempuan kita itu. Ya, Ukh Dewi juga tau kalau mereka sudah berdebat di kelas seperti apa. Katanya sih dia menganggap teman perempuan kita itu tak lebih seperti Venny, Kitri juga teman kita yang lain. Ukh Dewi tau sendiri, walaupun Akh Fajar itu ketua Ikatan Remaja Mesjid, dia tetap terbuka bergaul dengan siapa saja. Mengenai kejadian tadi, keliatannya ana perlu bicara dulu dengan Akh Fajar.”
“O... kalau memang ceritanya seperti apa yang diceritakan Akh Dika. Ana cuma bisa nitip ama Akh Dika untuk terus mengingatkan Akh Fajar.”
“Insya Allah.”
Sebenarnya aku syok berat. Virus macam itu bahkan bisa menyentuh ikhwan semilitan Fajar. Aku tak meragukan seberapa ketat Fajar menjaga dirinya. Bahkan tak pernah kulihat mereka berhubungan di luar debat mereka di kelas. Memang banyak kasus CBSA alias Cinta Bersemi Sesama Aktivis. Di depannya mereka jaga hijab, di belakang mereka SMS nggak karuan. Entahlah, namun aku tau siapa Keisya dan Fajar. Aku yakin, mereka bukan type-type orang yang bisa melakukan itu semua.
Ya Rabb, aku semakin yakin. Manusia hanyalah makhluk lemah yang tak punya kekuatan selain kekuatan darimu.
***
Story-Guide 4 :
Fajar... Fajar...
Kau memang tak pernah mngecewakanku. Kau begitu jujur mengutarakan semuanya. Aku sangat suka caramu bercerita.
Dewi?
Dia melakukan tugasnya dengan baik. Namun, tak istimewa buatku.
Keisya... Keisya...
Dirimu memang sangat membosankan bila kau bercerita tentang dirimu sendiri. Kau harus lebih banyak belajar kepada Fajar.
Sekarang aku butuh seseorang yang lebih independen untuk bercerita tentang Keisya.
Siapa?
Siapa?
Siapa?
Aha!
Aku tau siapa yang tepat untuk mengemban tugas ini. Seseorang yang sebenarnya tak kurencanakan untuk muncul.
***
Namaku Dimas.
Nama yang sangat pasaran memang. Nama lengkapku Dimas Agustin Feryawan. Aku tau namaku tak pernah tersebut sekalipun di atas. Aku sekelas dengan Keisya. Duduk tepat dibelakangnya. Siapa pun yang pernah berteman dengannya pasti terkesan akan dirinya. Akan ku ceritakan betapa dia menyenangkan sebagai seorang teman.
“Dim, Kemana aja kamu kok kemarin-kemarin nggak masuk?”
Dia memang teman yang perhatian. Teman yang tak masuk, pasti ia tanyakan kabarnya begitu mereka masuk.
Ya, aku memang sudah tidak masuk lima hari sekolah. Satu minggu ditambah 2 hari libur.
“Gw ke Surabaya.”
“Wah asyik. Oleh-olehnya donk.”
Ku letakan keresek besar berisi oleh-oleh untuk teman-teman sekelas di mejanya.
“Ngapain?” tanyanya setelah mengambil beberapa macam makanan.
“Kakak sepupu gw nikah.”
“Wah selamat ya.” Keisya, Rena dan Lani mengatakannya berbarengan.
Aku memang cukup akrab dengan mereka bertiga. Sebagaimana aku dan mereka akrab dengan teman-teman yang lain.
“Jar, kuenya ambil aja!” sahutku pada Fajar yang lewat di depanku sambil menunjuk ke arah meja Keisya.
Fajar mengambil sebuah kue. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan tingkah laku Fajar di depan Keisya. Begitu juga dengan tingkah laku Keisya.
“Wah, kayaknya gw ketinggalan banyak cerita nih.”
Setelah ku desak dengan rayuan mautku. Akhirnya Lani mau juga menceritakan kejadian kemarin. Ku tengok kiri dan kanan.
“Gw mo nanya nih. Emm... dimana tepatnya tabung reaksi yang dipecahin Key itu jatuh?”
“Tepat disebelah tangan kiri Key.” Lani memang yang paling akrab denganku.
“Isinya?”
“HCl 2 M.”
Pantas saja! Aku memang tak begitu pintar. Tapi aku tau kalau tangan Keisya bisa langsung terbabat habis oleh cairan itu. Tak mengertikah dirimu tentang ini?
Kecurigaanku selama ini telah terbukti. Fajar. Biar kata dia Ketua Ikatan Remaja Mesjid. Dia tetaplah seorang lelaki. Aku ini sudah berpuluh kali jatuh cinta. Pengetahuanku akan hal ini tak perlu diragukan lagi. Aku sudah menduganya tlah luluh oleh seorang Keisya. Setinggi apa pun benteng yang dibangun oleh seorang lelaki akhirnya pasti akan ada wanita yang khan mampu melampauinya.
“Key, gw nggak nyangka bakal ada juga yang suka ama cewek sok kepinteran macam lo.”
“Kamu nggak usah ngeledek aku deh. Mentang-mentang namanya sama-sama Dimas. Hobinya juga sama, ngeledekin aku.”
“Maksud lo?”
“Kakaknya Key namanya juga Dimas.” sahut Rena kini.
O....
Ah, Keisya. Maaf saja, namun menurutku penampilanmu sama sekali tak menarik bahkan cenderung sok kepinteran seperti yang kukatakan tadi. Walau dirimu menyenangkan namun dirimu bukan type perempuan yang bisa diatur seperti Kitri atau Venny. Kedua mantanku. Kau adalah seekor burung yang tak pantas di kekang oleh sangkar emas sekali pun. Sama sekali bukan typeku.
Fajar? Aku yakin kisah ini tak akan berlangsung singkat. Bahkan mungkin akan terus bergulir hingga keduanya sama-sama mengakhirinya dengan menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Aku berani mempertaruhkan kelelakianku untuk cerita ini. Kita lihat saja keterusan dari kisah mereka.
***
Story-Guide 5 :
Akhirnya...
Ku pikir karakter Keisya sudah tergambarkan dengan cukup gamblang olehku. Begitu juga pemikirannya. Telah semuanya tersampaikan oleh orang-orang di sekitarnya.
Sekarang tinggal aku akhiri kisahnya.
Aku bingung akan ku buat happy ending atau sad ending. Orang-orang Indonesia begitu suka akan cerita-cerita telenovela juga film india. Semuanya berakhir happy ending. Tetapi aku tak begitu saja gegabah memenuhi keinginan pasar. Cerita ini adalah cerita yang tidak biasa.
Begini saja, aku serahkan akhir cerita ini pada Dimas, abangnya Keisya.
Aku selalu suka caranya mengakhiri cerita.
***
Namaku Dimas.
Dimas Iskandar Fardani. Umurku sama sekali tak muda, 32 tahun. Istriku baru satu dan akan tetap satu sampai maut memisahkan kami. Namanya Reni. Anakku sudah tiga. Yang pertama bernama Sheira, kelas 1 SD. Yang kedua bernama Erief, terpaut 20 bulan dari Sheira.
Setelah lima tahun bertualang di pedalaman Kalimantan. Terjadi perubahan besar-besaran di perusahaanku bekerja. Aku dapat beasiswa. Aku ambil manajemen di universitas terfavorit negeri ini. Letaknya di kota Depok. Tahun lalu aku lulus gelar S2ku dan akhirnya kuputuskan untuk menerima promosi untuk bekerja di kantor pusat yang letaknya di Jakarta. Kasian anak-anakku kalau harus tertinggal pendidikannya jika aku memaksakan diri terus mengejar mimpiku bekerja di daerah. Sungguh nyomplang kualitas pendidikan di jawa dan di luar jawa. Meski kini ada otonomi daerah, kesenjangan itu tetap tajam.
Aku anak ke dua dari tiga bersaudara.
Kakakku Radit, dua tahun diatasku. Anaknya baru dua. Nadia terpaut hitungan bulan dengan Sheira.dan Firman, baru berumur 1 tahun. Kariernya kini sudah cukup lumayan. General Manager di perusahaan selama ini dia mengabdi.
Adikku Keisya. Terpaut 10 tahun dibawahku. 22 tahun. Sejak tiga tahun yang lalu, dia ikut tinggal bersamaku. Aku satu kampus dengannya. Sebelumnya dia tinggal bersama Bang Radit. Namun, karena Bang Radit dipromosikan dan akhirnya pindah kantor. Dan ini bersamaan dengan kepindahanku. Dia baru saja lulus cumlaude dari Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Keisya...
Adikku tersayang. Ku pikir aku telah berhasil mengkadernya seperti yang ku mau. Namun, ketika ku tanyakan tentang sesuatu yang cukup prinsipil. Aku sangat terkejut. Dan kupikir dinding-dinding pemikiran apa pun terlalu tinggi untuk mengekangnya. Pikirannya bagai burung yang harus terbang agar berkembang.
Tau aku dapatkan beasiswa, Reni pun turut berburu beasiswa. Dapat dan dia lulus bersamaan denganku di fakultas yang tak beda dengan Keisya.
Sejak awal lulus hanya berkarier di daerah membuat gelar S2nya tak begitu laku. Yang penting pengalaman. Dunia sudah sedemikian kejamnya. Karena itu, dia mulai berkoordinasi dengan Keisya hendak mendirikan rumah sakit. Kini dia sedang sibuk-sibuknya menghubungi teman-teman lamanya untuk ikut bergabung. Setidaknya ikut menyumbang uang.
“Gimana Lili? Mau?”
“Insya Allah.” katanya.
“Ehm... Bang, dia juga lagi ngebujuk Fajar supaya mau bikin proposal.”
Fajar. Aku tau dia. Dia adalah adiknya Lili yang Ketua Ikatan Remaja Mesjid Harmud. Keisya pernah sekelas dengannya. Aku pernah mendengar Keisya menceritakannya. Hanya sekali dan tak pernah lagi. Berbeda dengan Keisya yang memilih ilmu kesehatan masyarakat. Setauku... Fajar berlabuh di fakultas kedokteran universitas yang terus dikecam karena mengambil mahasiswa di luar SNMPTN dengan bayaran yang berpuluh kali lipat. Mereka terpisah ratusan kilometer. Namun, kini seperti dipertemukan kembali oleh takdir. Oleh proyek yang diprakarsai oleh Reni dan Lili.
“Kenapa harus bikin proposal?”
“Dia khan baru sarjana kedokteran. Belum jadi dokter.”
“Terus, kenapa harus bikin proposal?”
Istriku tercinta itu hanya tersenyum.
“Kejutan untukmu. Tak baik kalau kau tau sesuatu sebelum waktunya.”
Istriku ini memang hebat dalam bermain kata dan memberi kejutan.
***
Story-Guide 6 :
Pengarang adalah pemilik dari kedaulatan mutlak karangannya. Tapi kini aku serahkan kedaulatanku kepada kalian semua.